♭Chocolates Buns..♪♬
Angin
musim semi yang berhembus menjatuhkan dedaunan tua yang sudah sejak lama
menanti untuk diterbangkan. Sinar mentari yang baru muncul tumpah ruah bak
ingin segera pergi mencari kebebasan dari kelam dan dinginnya malam. Sang dewi
malam kabur, takut sang surya akan menerkam dan menelannya dalam sekali lahap.
Seorang
gadis yang diberkahi rambut sewarna coklat murni yang menawan dan mata secerah
kanvas biru yang sering kita sebut dengan langit, terlihat sedang melangkahkan
kakinya masuk ke dalam gerbang sekolah, dilihat dari seragamnya, jelas sekali
ia adalah murid dari sekolah itu. Terlihat beberapa anak lelaki menyapanya,
sepertinya ia anak yang cukup populer. Namanya?, kupikir ia akan mengatakannya
padamu segera.
Seorang lelaki bersurai
pirang melangkahkan kakinya ke dalam kelas, seperti biasa ia selalu memilih
bangku paling sudut di sebelah jendela. Kenapa? Alasannya ia tidak suka
mendengarkan ocehan gurunya tentang pelajaran. Ditambah lagi tempat itu sangat
strategis karna ia bisa melihat pekarangan sekolah yang ditumbuhi aneka tanaman
yang menurutnya indah. Somehow, ia suka melakukannya.
Ia menatap keheningan
yang terjadi, sepertinya ia terlalu cepat untuk datang ke sekolah, karna tidak
ada siapapun di bawah sana. Well, ini rekor pertamanya, biasanya ia selalu
terlambat dan terkunci diluar pagar. ‘Sepertinya aku bisa bersantai lebih awal’
pikirnya dalam hati sambil nyengir kuda, membayangkan ia duduk tepat di bawah
pohon sakura belakang sekolah.
Ia mengecek arlojinya,
memastikan berapa lama lagi bel sekolah akan berdering.
“M-maji..........1”
Ia tak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya saat ini. Ini horor,
sangat-sangat horor. Lelaki itu mencubit lengannya sendiri, sakit. Tidak percaya
dengan apa yang barusan dilihat dan dirasakannya, ia mencubit lagi pipinya.
Sakit. Ini bukan mimpi...
Ia berlari menyusuri lorong kelas, lima belas menit lagi menuju jam
sembilan. Ini sudah sangat-sangat terlambat! ‘Yuuya! Kenapa kau tak
membangunkanku ha?!’ Dia mengutuk adiknya sendiri yang tadi pagi tiba-tiba saja
menghilang dari rumah. Jujur saja, dia sangat mengandalkan adiknya yang
terbilang jenius itu.
Ya, kau tidak salah lihat,
adiknya, Yuuya Akarukawa memang anak yang jenius. Dia yang lebih muda darinya dua tahun, tetapi bisa sekelas dengannya. Walaupun sifat sok coolnya itu
sedikit mengganggu Reito, tapi dia itu cukup – ulangi! Sangat terkenal di semua
kalangan.
BRAK!!
Reito membanting pintu tanpa
sengaja, sepertinya tenaganya terlalu kuat. Semua orang menatapnya dengan
pandangan polos, ada juga yang nyengir-nyengir tidak jelas, berusaha menahan
tawa. Yuuya hanya bisa meringis sambil membentuk tanda peace dari tempat
duduknya.
“REITO AKARUKAWA! BERANINYA KAU
MENGGANGGU JAM PELAJARANKU! BERDIRI DI LUAR!”
“MAAF!” Ia kembali menutup pintu
dengan cara membantingnya. Orang itu memang guru yang menyebalkan.
“Hei, maaf. Siapa namamu tadi?”
Seorang anak laki-laki bersurai hitam batubara mencoba menyapa seseorang. Masih
ingat gadis yang kuceritakan di awal tadi?
“Yuki.” Jawabnya singkat, dia
memang jarang berbicara pada orang yang belum dekat dengannya.
“Oh?, nama yang bagus..” Ia
tersenyum, mencoba sedikit ramah, itu bertujuan agar gadis itu mau membantunya, untuk apa ia merelakan waktu belajarnya yang berharga hanya untuk menyampaikan barang?. “Hei, Harukaze-san, bisakah kau
tolong aku?, tolong berikan ini pada nii-san2ku yang berada di luar
sana. Aku belum membuatkan sarapan untuknya tadi pagi, kau lihat, aku tadi juga
sedikit terlambat dan––“
“Sensei!3”
“Ya Harukaze-san?”
“Bolehkah aku permisi sebentar ke
toliet?”
“Silahkan. Tapi jangan lama-lama
karena kau akan ketinggalan banyak dari pelajaranku.” Perempuan yang umurnya
berkisar 30-an tahun itu memberi seringaian serigalanya.
“Hai’!4” segera ia
langkahkan kakinya keluar dari kelas. Yuki menghela nafas. ‘Akhirnya aku bisa
lepas dari anak yang berisik itu.’
KRUUK.
“..................Lapar..” Perut
Reito meraung dengan ganasnya. Yuuya tidak menyiapkan sarapan untuknya tadi
pagi. Hari yang sungguh sial baginya.
“Nih.” Seseorang menyodorkan sebungkus
roti coklat. Ia menoleh ke arahnya – gadis yang belum pernah ia lihat
sebelumnya – dengan rambut sewarna coklat pasta kesukaannya dan iris biru sejernih lautan.
Ah, entah kenapa Reito merasakan Déjà vu ketika melihat
gadis itu.
“Arigatou!5” Reito
tersenyum lembut kepadanya. ‘Ah, kau memang ditakdirkan untuk menjadi
penyelamatku hari ini!’
“Hn.” Ia hanya mengangguk dan
menyandarkan dirinya ke dinding, lalu berangsur-angsur turun sehingga kini
posisinya menjadi berjongkok.
“Ne, daijoubu desu?6, perlu
kubawa kau ke UKS?” tanya Reito sedikit khawatir. Jujur saja, wajah gadis yang
tak diketahui namanya itu terlihat pucat.
“Tidak perlu, dan bisakah kau
berhenti berbicara dalam bahasa Jepang?!” gadis itu sedikit membentaknya. Yah,
ini semua karna segalanya terasa berputar.
“Ayo naik.”
“Huh?” mata biru langitnya
melirik ke arah datangnya suara itu. Yang bisa kulihat kini hanya punggung
lelaki itu. ‘Apa dia berniat menggendongku ke UKS?’
“Ayo naik!” ulangnya lagi. ‘Aku
sudah mendengarnya bodoh.’ batin gadis itu.
“Tidak mau. Aku bisa berjalan
kesana sendirian.” Ia memalingkan wajahnya yang semakin pucat dan mencoba untuk
berdiri. Tiba-tiba saja tubuhnya ringan, rasanya seperti terbang. Lalu semuanya
menjadi gelap.
“...”
“....e..”
“.....ng.......oi..”
Sayup-sayup sebuah suara
terdengar di telinga Yuki, dan semakin lama semakin jelas. Ia pun membuka mata
dan menemukan wajah Reito ada tepat di depan wajahnya.
“Hei, bangun!, tidak mungkin
selamanya aku akan menunggumu disini!” anak laki-laki yang dipanggil Reito itu
dengan polosnya tersenyum riang dan menampakkan gigi-giginya yang putih.
PLAKK!!
Yuki menampar Reito sekuat tenaga
sampai ia jatuh terduduk di sebelah
ranjang UKS. “KAU INI BODOH ATAU APA HAH?!” Wajah merah?, tidak. Ia
mengeluarkan deathglarenya.
“SAKIIIT!!” Reito berteriak
tertahan sambil mengusap-usap pipinya yang merah dengan sedikit warna biru
kehijauan di pipinya. Malangnya Reito, gadis itu menamparnya dengan kencang dan
tak ada satu pun rasa bersalah di wajahnya.
“Kenapa kau bawa aku kesini?”
bukannya meminta maaf atau berterima kasih ia malah menanyakan pertanyaan lain.
“Kenapa?, kau pingsan tentu saja
aku harus membawamu kesini.” Ia tersenyum kecil sambil masih meringis kesakitan
karna tamparan yang tadi.
“Apa kau tidak tidak ada maksud
tertentu?” masih menatapnya dengan penuh kecurigaan.
“Tunggu dulu, aku belum selesai
bicara” ia tersenyum sedikit aneh – itu hanyalah senyum biasa, namun entah
kenapa terlihat aneh bagi Yuki. “Aku ingin berterima kasih karna kau sudah
memberiku roti coklat kesukaanku ini.” Ia mengeluarkan sebungkus roti coklat
yang setengah gepeng dari kantongnya. Mungkin ini karna tadi ia menggendong
Yuki sampai ke UKS.
“Kau belum memakannya?” Yuki menaikkan
sebelah alisnya heran. “Kukira kau lapar.”
“Ya, memang” ia berpikir, memberi
sedikit jeda sebelum akhirnya melanjutkan kata-katanya. “Tapi setelah melihat
wajahmu aku langsung merasa kenyang.”
“Jangan mencoba menggodaku, aku
sudah kebal.” Ia turun dari ranjang UKS, lalu berjongkok di depan Reito.
“Cepat
makan, nanti kau malah sakit.” Katanya dengan wajah datar.
“Walaupun sikapmu dingin ternyata
kau perhatian padaku ya?” ia menunjukkan sengiran khasnya, sengiran itu
membuatnya berbeda dari pada yang lain di mata Yuki, tersirat sesuatu di
dalamnya.
“Jangan salah sangka, lain kali
aku tak akan segan-segan menamparmu lagi.”
“Hidoii na..7”
wajahnya langsung berubah cemberut, namun kembali seperti sedia kala dalam
beberapa detik.
“Nih.. makan..” Reito melemparkan
roti coklat yang tadi diberikan Yuki kearahnya. Yuki dengan siaga menangkap
roti itu.
“Huh?, ada apa lagi denganmu?,
apa sekarang giliranmu yang sakit?” gadis itu masih heran dengan apa yang laki-laki
itu lakukan.
“Makanlah, kau lapar kan?, lagipula
aku tadi pagi membawa roti coklat juga.” Ia mengeluarkan bungkusan itu dan
memamerkan deretan giginya yang putih.
“Jadi untuk apa aku susah-susah
melewatkan jam pelajaranku yang berharga hanya untuk memberikan roti coklatmu
yang adikmu titipkan padaku?!!” Yuki itu berniat untuk menempeleng kepala anak
itu lagi, tapi mengingat dia sudah berbaik hati membawanya kesini, Yuki
mengurungkan niatnya.
“Jadi Yuuya yang menitipkan roti
itu padamu?, apa dia merepotkanmu?”
“Sejujurnya dia itu sedikit
menyebalkan dengan sikap sok coolnya itu, dia sama saja sepertimu.”
“A-APA?!, hhh... baiklah..” Reito
menundukkan kepala pasrah dengan jawaban yang ada. Orang yang baru saja bertemu
dengan Yuuya dan Reito pasti akan menganggap mereka seperti pinang dibelah dua.
“Ayo cepat makan, lalu kita
kembali ke kelas.” Yuki membuka bungkus roti itu dan bersiap-siap memakannya.
Dengan sigap Reito menyumpal mulutnya dengan roti coklat yang ada ditangannya
dan menggigit roti yang ada di tangan Yuki.
“Hmph?!” segera ia melepaskan
roti yang kini sedang menyumpal mulutnya. “Apa-apaan tadi itu!!?”
“Kupikir seorang gadis tidak
layak untuk memakan roti yang setengah gepeng itu, jadi sebelum kau memakannya,
aku menyumpal mulutmu dengan roti yang bentuknya masih bagus.”
“Dasar..
kau ini..” Gadis itu memalingkan wajahnya, menatap keluar jendela. Samar-samar
senyum itu terlukis di wajahnya. Musim semi memang membawa banyak kenangan..